Minggu, 10 November 2024
Minggu, 10 November 2024
Menjaga Nalar Menjelang Tahun Politik, Kritik Terhadap Makna Independensi Organisasi
Sebentar lagi tahun politik akan tiba, tepatnya di 2024 tahun depan. Namun, hingar-bingar politik sudah terasa di tahun 2023 ini. Aksi dukung-mendukung kerap kali menjadi permasalahan karena efek politik praktis yang kembali menggunakan politik identitas sebagai dagangan dan jualan politik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas.
Padahal, pasca kompetisi selesai yang berbeda dukungan dan bertetangga tetaplah menjadi tetangga, yang bersaudara tapi berbeda dukungan tetaplah menjadi saudara. Polemik ini kerap kali kita rasakan menjelang kontestasi politik, seharusnya kita belajar dari pengalaman masa lalu yang sampai putus tali persaudaraan akibat politik ini.
Di sisi lain, banyak pula organisasi yang pecah dan hancur akibat pilihan yang berbeda diantara organ penghidup organisasi atau pengurusnya. Organisasi yang seharusnya menjadi rumah ide dan gagasan serta mediumisasi perjuangan bersama sebagai hasil dari kinerja kolektif justru menjadi parsial akibat sikap politik yang berbeda. Organisasi yang seharusnya menjadi penengah dikala perpecahan di masyarakat terjadi justru malah menjadi motor gerakan saling singgung dan saling menjelek-jelekan satu sama lain.
PARADOKS IDENTITAS
Politik sejatinya hadir sebagai sarana/alat untuk mempelajari kekuasaan begitulah pendapat WA. Robson disisi lain Mac Iver berpendapat bahwa politik adalah ilmu tentang pemerintah. Sampai di titik ini kita tahu bahwa sejatinya politik adalah hal yang baik, keberadaannya adalah sebagai jembatan untuk menata interaksi-interaksi antara masyarakat dengan masyarakat termasuk masyarakat dengan negaranya. Kendati demikian, politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan pemerintahan sehingga banyak orang yang kemudian menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan politik memiliki stigma yang kurang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Mensitir apa yang dikatakan Lord Acton yaitu “Power Tends to Corrupt, and Absolute Power Corrupt Absolutely (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute cenderung korup secara absolut). Adagium ini seolah menjadi gambaran paradoksitas Panjang di dalam identitas politik yang saya pikir masih relevan dengan keadaan hari ini.
KRITIK
Organisasi sebagaimana kita ketahui adalah katalisator perubahan dalam makna yang positif sebagai perjuangan gagasan demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera (walfarestate) tentu memiliki andil besar dalam terwujudnya iklim demokrasi yang baik. Kendati demikian, tidak jarang banyak organisasi yang memanfaatkan momen tahunan pesta politik sebagai batu loncatan individu dalam meraih tujuan-tujuan pribadi akan tetapi jauh dari tujuan-tujuan organisasi. Sehingga kerap kali organisasi terseret dalam pusaran politik yang arah dan tujuannya dewasa ini dikendalikan oleh kapital (pemilik modal) sebagai konsekuensi logis praktek demokrasi prosedural sebagai lawan dari demokrasi yang substansial. Friksi menjadi sebuah hal yang diwajarkan sebagai respon dari perbedaan keberpihakan organisasi yang seharusnya memiliki nilai-nilai etis dan menjadi nilai-nilai luhur dalam kehidupan organisasi menjadi dikesampingkan atas nama kapital. Hal ini yang kemudian menurut Risman K. Umar sebagai patologi organisasi.
Sehingga, banyak orang yang jengah dengan keberadaan himpunan-himpunan, kelompok dan organisasi karena tidak memiliki efek sosial yang berkelanjutan. Pada umumnya hal-hal yang dilakukan organisasi hanya bersifat seremonial saja tanpa rencana tindak lanjut yang jelas.
MISKONSEPSI INDEPENDENSI
Pada titik ini organisasi haruslah memiliki independensi, akan tetapi independensi yang dimaksud tentu juga harus memiliki nilai rasionalitas. Hal ini bertitik tolak pada prinsip bahwa setiap orang memiliki hak-hak individu yang harus di hormati termasuk dalam perkara memilih dan dipilih. Organisasi yang dewasa tentu memiliki garis demarkasi yang jelas untuk membedakan mana independensi etis dan mana independensi organisatoris. Selama ini kita hanya memahami bahwa independensi adalah sikap mandiri yang tidak tergantung dan tidak berafiliasi atau pada pokoknya independensi hanya dimaknai netralitas. Padahal independensi bukan berarti ketidakberpihakan akan tetapi justru adalah keberpihakan kepada kebenaran yang berasal dari nilai-nilai etis tersebut.
Sehingga independensi etis adalah sikap individu yang selalu cenderung kepada nilai-nilai kebenaran. Sementara independensi organisatoris adalah sikap kolektif (individu-individu yang berpegang pada nilai-nilai etis) organisasi yang berpegang pada nilai-nilai yang benar. Bagi sebagian organisasi yang menjunjung tinggi independensi diatas segalanya memang agaknya akan memilih netral dalam arti tidak akan membawa organisasinya masuk dalam pusaran badai politik, akan tetapi hal tersebut tidak bisa serta merta membatasi hak individu seseorang. Bahwa organisasi memang benar tidak boleh memiliki kecenderungan politik karena kecenderungan perpecahan yang mungkin bisa terjadi akan tetapi di sisi lain hak setiap individu untuk menentukan pilihan tentu adalah hak yang asasi pula.
Memang benar bahwa organisasi tidak bisa serta-merta mengamputasi keinginan individu, oleh karena itu agar pelaksanaannya tidak terjadi Recht Vacum (kekosongan hukum) maka harus diatur agar yang dikedepankan bukan ego individu atau ego kelompok tertentu, melainkan sebuah kebijakan yang diambil dalam keadaan sadar dan tenang. Sehingga friksi bisa dihindari dalam organisasi.
Maka, dengan mendudukan suatu masalah pada tempat yang benar maka kita sedang melakukan aktifasi nalar dalam rangka mencegah fenatisme buta akibat kecenderungan-kecenderungan kita.
Penulis: Firman Nurhakim, S.H (Sekretaris Satuan Nasional GARDA Petanesia)
Kategori